Thursday 28 June 2007
Antara Jakarta-Melbourne Australia
Dari timur matahari dia berangkat ke selatan bumi
Lima musim akan terus lewat sebelum kembara kembali
Inikah jejak petualangan yang mencari jati diri ?
Musim dan cuaca mungkin kan jadi sahabat terlama
Entah kan kembali atau tersesat dalam badai waktu
Namun di sini kami yang tertinggal kan mencatat
Gaung dan gema dari sebuah masa lalu
Empat kali musim dan empat kali cuaca lewat
Mengabarkan tentang rencana masa depan kembara
Bagai titik embun pagi yang menulis kesaksian di batu kali
Akankah sang Kembara lebih arif ketika kembali nanti
Rimbun perdu dan jejak matahari
Akan terus mencatat dan tahu pasti apa yang akan terlewat pergi
Kami di sini hanyalah jejak masa lalu dari sebuah perjalanan
Every drop of water will flow to the sea-kata pepatah lama
Ada sebuah kisah tentang rahasia seorang Kembara
Umpama gerimis dini hari yang mengukur batas langit
Semua rencana dan masa depan akan di tulis jelas-jelas
Tidak kah dia kangen pada perhitungan angka-angka ?
Rupa-rupa metodika balak dua tiga dan lima
Ada banyak rahasia tentang perginya sang Kembara
Lewat doa bersama yang bersemi dalam beku cuaca Australia
In the middle of frozen sea at Darling Harbour, hanya dingin dan cuaca yang jadi sobat kelana
Adli lah pada akhirnya yang menjadi murid dan juga guru untuk menguji persoalan hari-hari
Jakarta 30 January 2004IKJ
Rumus dan Angka Kimia
Belajarlah juga dari ketenangan tanpa gelora
Karena kita semua hanya bisa menduga, ternyata bukan pemeran utama
Bila angin tenggara balik ke pintu rumah, atau musim dan cuaca telah pulang ke jendela palka ,
hanya yang paham serta mengerti semua ,
Bagaimana memaknai kemenangan yang nampak seperti kekalahan
Belajarlah kita dalam-dalam ,tentang sebuah puisi terpendam
Jika prosa berbicara dengan banyak tanda baca, titik dan juga koma
Jika prosa di tulis jelas , lugas serta bernas,
biarlah kita menulis segudang puisi liris
Tanpa jalur makna berbaris-baris, tanpa tanda baca serta garis
bagaimana memaknai tekanan hati bisa berubah tanpa tangis
Belajarlah kita dari Hampa,
Karena hanya Dia yang bisa mengubah prahara menjadi sebuah harapan nyata
Karena hanya Dia yang bisa mengubah badai jadi kesempatan emas berderai-derai
Pantaslah kita belajar segala dari Tiada
Bila kita pikir Ada adalah figuran cerita, maka Dialah kini pemeran utama
Bila kita pikir Tiada hanya figura dan pinggir cerita
Maka dialah kini Sang Sutradara.
Jakarta, 31 May 2004
Saturday 16 June 2007
Hari yang bagus buat melamun
ada hari-hari panjang buat ketawa dan bercanda. sambil terpukau pada daun-daun di beranda.serta halaman belakang rumah. Kalau pagi hari daun-daun asam jawa nampak segar ceriah, pada kabut tipis, juga kemilau embun subuh tadi. nuansa lagu daun. semuanya hal-hal yang biasa setiap kali. setiap pagi. tapi dia suka.memang ada hari-hari yang bagus buat Odhit untuk melamun. menatap hujan di tritisan rumah, rumputan yang basah atau dahan-dahan kelabu warnanya. malukah aku bila kau tahu aku melamun termanggu ? Sepagi itu ?. Itu hak kamu Dhit, tapi buat apa ?
Ada waktu yang bagus memang buat Odhit untuk melamun. Odhit bangun dari tempat tidur . Diikatnya tali gaun tidur. linen merah muda.rambut kuncir kuda. Lalu ia gosok gigi dan cuci muka, mandi wangi harum bunga. derai shower seperti bunyi tali kecapi.Pada kaca ada bunga-bunga. merah muda semua. Lalu tanpa rias dan bibir masih basah oleh air pagi, Odhit melangkah. memandang pada tepi jendela. kedepan beranda rumah rumah. Pohon trembesi itu selalu menyapanya. tiap pagi. tanpa kecuali.
trembesi tua pikirnya, mulai lumutan pada dahan atas dan bawah. seperti warna selimut neneknya. ada sekelompok jamur dan cendawan. perdu yang tak di urus minggu lalu. Odhit tak tahu juga kapan trembesi itu ada di sana. Tumbuh dan jadi sobat lamanya sejak dulu. Odhit tak tahu. Sungguh tak tahu.
***
Cibubur, 15 June 2007
Friday 15 June 2007
Aku Ingin Jadi Lautan
bagi perjalanan panjang sungai dan muara yang lelah
bagi matahari yang tidur di selimut cakrawala
yang di peluk jingga senja sehabis luruh bianglala
bagi camar yang bercinta dengan ombak dan buih di bebatuan
aku ingin jadi lautan
yang memuja matahari telanjang perkasa
di atas rumput lautnya kami kawin dan senggama
dan orgasme hujan di belukar deburnya tumpah ruah
Aku ingin jadi lautan yang menguji ketabahan bebatuan
Bagi musim yang tak pernah lelah menghitung buih yang hilang
Aku ingin jadi lautan
bagi sungaihatimu muara lelah kesunyian
Cibubur, 15 June 2007
Kota itu 'kan membuatku terkenang dunia kanak-kanakku
ke Sungailiat aku kan kembali
dan menghitung perca-perca kenangan masa mudaku
dan bocah-bocah dunia baru kan asing dengan kembara yang pulang
dan angin senja seperti berkata " kembalilah kembara ke dada bunda, tanah ini akan kembali memelukmu tanpa dendam, menangislah di dadanya, inilah lubuk tempat kita melupakan penat hari -hari pajang tanpa amarah "
ke Sungailiat aku kan kembali
dan menghitung lagi luka-luka dipundaknya yang hitam
angin pantaimu yang asin akan lagi mengeringkan kulitku
dan badai pasir laut selatan kembali bicara dengan nada paling renyah
ku kan kembali pulang dan bercengkrama atas lumut-lumut di beranda
hujan akhir bulan bakal menyirami putik rinduku yang basah
ke Sungailiat aku kan kembali pulang
membangun rumah buat anak-anakku
lalu kukenang masa belia yang muda
dunia kanak-kanak yang tersingkir di gudang-gudang berdebu
lamunan kanak-kanakku yang nakal atas imaji luruh penuh
ke Sungailiat aku kan kembali pulang
adakah bagiku lagi tempat teduh dan tenang
sebuah ruang akrab buat bertandang
barangkali bukan ucapan selamat datang
Jakarta, Desember 1990
Tentang Sunyi
Tuesday 12 June 2007
Prelude Elegy
kabut itu telah membawamu pergi
sehabis rinai hujan diberanda
dan daun-daun asam jawa
menggigir juga pada angin bulan juli
kabut itu telah membawamu pergi
dalam kecurigaan yang panjang dan lengang
tapi masa depan mungkin akan menyuburkan keharuan
biarkan luka itu jadi biji bunga ilalang
di atas hampar ladang hatimu terbuka
subur karena gerimis sepanjang petang
kabut itu memang telah membawamu pergi
di lindapnya musim bakal kembali
Sawo Manila Ps. Minggu, Jakarta July 1988
Kepada Hujan
January tiba kini
daun yang luruh
sunyi dan jauh
January tiba kini,
ilalang dalam belukar
menulis puisi buatmu di padang-padang perdu
January tiba kini,
hati yang basah
sobat lama pada garba waktu remaja
selamat tiba pada baru usia
Tg. Duren Jakarta 21 February 1992
Monday 11 June 2007
Haiku
menulis diary di daun pagi
Kutulis puisi buatmu
di daun hati
aku berkata pada musim
jadikan aku lelaki satu bagimu selalu
karena anak-anakku lucu
telah lahir dari rahimmu
Tuhanku, jadikan kami sepasang cahaya
bagi anak-anakku tumbuh dalam kemilau terang surga
Hujan dan gerimis
menulis diary di daun pagi
Kutulis puisi buat mu
selalu di daun hatiku
Jakarta, 09 Mei 2007
Sebuah Sajak Pendek
Tentang Dongeng Embun
Warna subuh matahari, sejoli merpati dan kembang sawo yang gugur pagi Ini
embun terbangun antara daun-daun jambu di belakang rumah
pagi ini hujan rintik menepuk-nepuk punggung dahan akasia
gerimis telah kembali, aku ingin sebuah sunyi
Sawo Manila, Pejaten Ps. Minggu, 30 July 1991
Surat dari Jakarta
surat ini bakal tiba sebelum senja turun di akhir tahun. ketika kabarmu dari Bangka kubaca di beranda, sementara angin memainkan pucuk-pucuk belimbing yang basah
"kamu tentu sudah jadi sarjana " suratmu bicara pada dengan lirih padaku , sementara sore sebelumnya kepalaku penat oleh uji materi semester akhir kuliah yang jenuh
aku tahu suratmu penuh kabar daun ketela, hijau sawi muda, pucuk asam jawa. aku suka warna-warna mimpi dari masa sekolah. sementara dengan sedikit malu kamu kabarkan pesta nikahmu yang sederhana di bawah langit terbuka, gigir bukit pagi pada belakang latarnya. kini seorang gadis tanah kelahiran bakal jadi ibu anak-anakmu, dan selembar foto nikah, berwarna hijau muda hutan basah seperti jingga buah pepaya.
Di matanya kau berkisah tentang hidup yang lebih punya makna, hari-hari akan banyak berkirim salam tentunya
surat ini bakal tiba sebelum senja turun di akhir tahun. sementara lada telah berbunga di hutan hutan seru' dan randu, yang terbakar dalam kemarau, daun-daun pisang di kebun berwarna batu, matahari senja di bukit tenggara, kuas angin dari pesisir telah berangkat dengan petang lindap kabut pada daun ketela muda
surat ini bakal tiba sebelum senja turun di akhir tahun ketika kabarmu dari Bangka kubaca di beranda sementara angin memainkan daun-daun belimbing tanpa suara, dan di kota telah turun kemarau sepanjang tahun. Lalu tetapkah kabar hujan ditulis terus di bukit bukit batu hijau tua , samping sekolah kita ?
Di kota lama ini , batu jalan telah jadi hitam jelagah, dari kampung Pemali hari-hari di tugal di huma, atas debu bau tanah , harum daun pisang muda , sementara di kota aku tersesat dari halte ke halte di sepanjang troatoar Jakarta
Surat ini bakal tiba ketika gerimis desember turun di akhir tahun dan kabarmu yang renyah bau hutan muda seperti ranum buah mangga
Jakarta, Sawo Manila Akhir Oktober 1991
Tentang Daun dan Embun
Tuhan sedang bicara padamu tentang usia dan kematangan hati
Dan kau akan mengejahnya dengan butir dingin embun pagi
Dalam senyap daun-daun yang tidur pada kabut dinihari
Dan satu kelopak bunga cemara terbangun pada angin yang lirih
Tuhan akan berkisah padamu hari ini
Bahwa usia bukanlah kalkulasi matematika
Dan juga bukan sekedar logaritma angka-angka
Maka berhitunglah engkau pada kenyakinan diri
Seperti bukit pagi yang terus percaya pada bangun matahari
seperti lumut batu yang yakin pada garis gerimis
Seperti kabut yang menulis puisi pada tepi pagi
Karena Tuhan akan berkisah pada mu lewat hal-hal kecil tak terduga
Maka ulangtahun dan buku usia akan mencatat segala cuaca
Tentang segala yang hilang dan pergi
Tentang segala yang kauingini tapi tak kau dapati
Tentang impian-impian kecil yang terkadang amat berarti
Maka kata embun kepada daun
“ Catatlah segala impian hari ini sampai batas langit dan biru angkasa
Karena Tuhan akan memberimu kanvas raksasa
Dan kau akan melukis segala warni dan warna
Dalam kekuatan harapan dan semua gemerlap butir asa
Goreslah lukisan terindah dengan nuansa dan cita
Selamat menghitung angka-angka
yang akan membuatmu jadi lebih dewasa “
Jakarta 20 May 2005
Soneta Sederhana
Bila angin menulis kata.............
maka Ripin-lah sebagai kalimat pertama
yang tahu dan paham banyak tentang pustaka dunia
Kearifan hidup bisa tumbuh di mana-mana
kenapa kita tak belajar dari Dia ?
Bila angin menulis kata....
maka Riza-lah menjadi paragraf utama
yang bisa berbicara banyak ilmu agama
juga tentang politik dan segala warna wacana
tapi hidup juga bisa selalu tentang asmara dan kamasutra
Bila angin menulis kata...
maka Alex Yoga-lah huruf-huruf berwarna
yang membuat dunia jadi ringan tak terduga
karena canda dan tawa menjadikan manis dunia
maka ceriahlah segala cuaca....
Bila angin menulis kata...
maka Khi Chon -lah tanda baca
tentang kesabaran dan kesenyapan hati
kekuatan hidup dalam kelembutan diri
kenapa kita tak bertanya padanya sejak dini ?
Bila angin menulis kata.......
maka Denny-lah jadi acuan dan referensi
tentang kesederhanaan dan warna persahabatan
hari -hari jadi ringan, lewat dan pergi
mengapa kita luput mengamati ?
Bila angin menulis kata...
maka Fachry-lah rangkaian dan bilur puisi
tentang kematangan ketenangan hati
musim yang tak punya gejolak emosi
ada pepatah lama pernah berkata" air yang dalam tidak beriak "
maka keteguhan hati akan tumbuh dan berbiak
Bila angin menulis kata...
maka Minardi adalah suara jati diri
padanya kita belajar tentang mawas diri
keinginan kuat untuk berubah dan punya makna serta arti
kenapa tak kita dukung sepenuh diri ?
Bila angin menulis kata....
maka Iwan-lah prosa tentang kesetian
keteguhan untuk memahami antara orang lain dan diri sendiri
di manakah makna hidup yang hakiki ?
Bandung...esok aku kan kembali....
Bila angin menulis kata....
maka Andre adalah judul tentang tawa
keceriahan hidup tidak mengenal musim dan cuaca
kemanapun dia melangkah , canda dan tawalah akan menjadi bunga
maka biarkanlah cuaca dan kita menjadi sahabatnya
Bila angin menulis kata...
maka Amin-lah tempat kita bercermin selalu
karena hidup bisa tumbuh dari sebuah celoteh lucu
dan keceriahan hari -hari tidak akan pernah jadi layu
maka dia-lah tempat kita menghapus gundah dan keluh
Bila angin menulis kata...
maka Alex Chandra adalah kata pembuka
untuk banyak hal dan peristiwa ceriah
Dia-lah lagu dan syair cinta
tentang gadis dan para wanita
lalu di manakah hati lelaki, bisa bertambat di dermaga ?
Bila angin menulis kata...
maka Martinus adalah garis-garis lurus
pada bidang lukisan -lukisan surealis
kalau hidup adalah guratan tulisan pada kertas
maka semua idea dan pikiran akan ditulis jelas-jelas
Bila angin menulis kata...
maka Michael adalah catatan penting pada pinggir pustaka
karena semua hal yang baru bisa di pelajari dan jadi makna
perubahan adalah tanda baik langit serta cuaca
maka mulailah menjadi kuat dan terbuka
Bila angin menulis kata...
maka Dicky adalah kalimat putih dan jelas sekali
tentang masa muda yang jernih dan berani
kalau kita bicara tentang manisnya api asmaradana
di manakah kamu simpan rasa gundah dan jatuh hati?
Bila angin menulis kata...
mungkin Boenarta adalah tanda titik dan tanda koma
yang memberikan kebaikan hati tak terduga
Tapi Boenarta, mengapa langit kerap jarang bicara
apakah karena kesabaran bisa tumbuh di mana-mana ?
Bila angin menulis kata....
maka Hartono adalah angka bernilai ganda
bagi persahabatan dan kesetian
hati muda yang tak gampang curiga
mungkin cuaca serta musim akan cemburu selalu kepada nya
Bila angin menulis kata....
maka Aphen adalah daftar penting pada pustaka
tentang kepercayaan dan kebaikan hati
garis lurus penuh warna-warni
hanya Aphen yang paham dan mengerti
Bila angin menulis kata...
hanya Robert yang teringat olehnya
karena suara jati diri dan kerendahan hati
kadang tak perlu kata dan kalimat beraneka
karena kesederhanaan adalah kunci segala laku dan tingkah
Bila angin menulis kata...
maka Adli adalah garis panjang kesetiaan
hidup selalu bergerak terus ke depan
karena padanya ada hukum dan aturan
Bila angin menulis kata...
maka Sutedjo adalah prosa dan wacana terang tentang keluarga
gambaran seorang ayah dan kematangan usia
cermin tentang gambaran kita di masa nanti
kelembutan hati bisa tumbuh di mana saja
juga di antara kerasnya suara dan pola bicara
mengapa kita tak belajar banyak pada nya ?
Bila angin menulis kata....
maka kita semua adalah karib dan sobat
yang mengapung pada segala tingkah dan sifat
tentang semua pola dan bentuk
bisa dalam garis lurus dan kubus
juga dalam garis lingkar dan persegi panjang lebar
Bila angin menulis kata...
maka aku hanyalah sebatang pena dan segurat warna tinta biasa
yang akhirnya hanya mampu jadi gema
yang memantulkan kembali suara kita sendiri
di antara gaung bising dalam keseharian kerja
di antara kepenatan hati dalam segala pergulatan hidup yang tak mudah
Bila angin menulis kata...
mulailah menulis kalimat-kalimat ceriah
semoga penuh nanti pustaka jiwa
tentang canda yang punya makna
karena hidup bisa tumbuh dan berbunga
ketika kematangan kata-kata menjadi wacana bersama
Maka bila angin menulis kata...
Jakarta, 14/08/2003
Catatan Kecil Perjalanan
Bisakah kusandarkan letihku pada pagi,
ketika kota demi kota terlewati
dan desa-desa terkubur dalam jarak dan waktu,
tanah Jawa berselimut kabut letih
ada warna subuh meronah pada langit yang layu dan buram
selamat tinggal peron dan beton dingin stasiun
bisakah kusandarkan letihku pada subuh
ketika cahaya wajahmu selalu jadi lagu teduh
Dalam gemerlap kantuk yang geriap digerbong biru
Aku membaca puisi pada sendu matamu
Pada kaca jendela aku berkisah tentang itu semua
Dimana kusimpan rapi semua nelangsa
Dimana kupenjarai begitu banyak kabut petang
Pada kaca jendela yang nyelesap karena tempias hujan yang gamang
Kusandarkan lukaku yang manis pada beku kenangan
Barangkali tak bisa kusandarkan letihku pada pagi
Kerna dinihari lekas berkemas dan berangkat dalam sunyi
Aku kerap terlambat
Dan tertinggal banyak kali di tepi peron-peron pagi
Stasiun Wates Jogja, Medio Juli 1999
Sunday 10 June 2007
Sajak Buat Papa
Tiap kali angin tenggara bertiup menggugurkan daunan bambu
semesra angin bumi merdeka
Menggoyangkan daunan pisang dan kebun-kebun lada
Kerinduan mengusik pada malam-malam kelabu
dan kubiarkan Jakarta tenggelam dalam beku rindu
Pa,
Jika angin Juni berhembus lagi di tanah Bangka
Dan bulan sepi jatuh di muara laut Kuala
Seperti nyanyian sunyi burung-burung simbang
Aku ingin segera pulang
Pademangan II, Jakarta September 1987
Lagu Pulau
oktober adalah warna ilalang
sebuah lagu sunyi dari padang
dari bukit selatan langit siang padam
hujan telah berangkat ke tenggara
oktober bau amis laut pagi hari
hujan desember masih tidur di hutan-hutan bakau tua
anak-anak desa mencari ketapang belah
dan menumbuknya di batu
ada sungai dan warna hutan duri
asap ladang terbakar dari barat daya
nelayan berselimut jala, hari-hari biasa
oktober telah kembali kini
anak-anak pantai menjemput kemarau
di barat daya telah terkepung bakau
batu granit hitam
dan belantara pohon duri
membisu dan menunggu mati
oktober adalah rasa kangen pada pohon-pohon padang
kemunting dan jambu hutan
riuh tekukur dan ramai terbang punai
oktober adalah sekeping masa lalu
dari selatan burung simbang pulang
air sungai telah pasang di hulu
kembalilah segala petang dari mata angin di mana ia datang
oktober adalah ilalang
sebuah lagu dari padang
dari bukit selatang langit siang padam
hujan telah berangkat ke tenggara
Jakarta, Awal Oktober 1991
Sketsa Lanskap Retak
Saturday 9 June 2007
Catatan Berahi Lautan
di riaknya kutebarkan jala warna bintang langit remang
angin perempuan bangkit dari selatan,
direbahnya belukar kangkang yang rangsang
pada puting kapal lelaki karam
Dayung lelaki sang petualang
pulang dari pepulau kecil di rimba laut seb'rang
dalam belukar arus gelombang hidup sungai-sungai perawan
kelana lelah, mandi , melepas duka, gundah-gundah perjalanan
perempuan itu,
adalah langit yang terbuka
di lembahnya sungai rahim mengular purba
dia bangun dari pelukan pagi
menyadap duka bumi
hati para lelaki
Tg. Duren, akhir Mei 1992
Angsa Kertas
angin melipat sepi pada cakrawala
aku membuat angsa bagimu
gerimis di batin-batin lepas
aku berdiri dalam angin pagi
warna airkali tempias di bawah mentari
angsa hanyut seperti daun yang basah
benarkah gelisah menciptakan batin terbelah
angin pagi di dahan-dahan
angsa kertas pada langit kamar
angin pagi memainkan sayapnya
berenanglah sunyi ke kali hati yang memendar
wanitaku,
kubikinkan kau angsa-angsa kertas
gerimis di batin-batin lepas
Harmoni, 20 June 1992
Rasa Kangen Itu...
di atas warna derai hujan hatinya
lelaki lelah dan mengaduh
ia adalah lubuk teduh dari sebuah musim yang jauh
dialah gemeriap jalar warna pagi
ketika kamu terjaga dan daun-daun membangunkan embun beku waktu
antara kabut gunung dan lumut-lumut di dahan basah kabut nelangsah
tapi hati ingin menulis puisi dengan lagu hati ,sejernih air kali
Dialah gerisik pucuk-pucuk cemara
yang gemetar dalam angin senja
ketika kamu merebahkan lelah di dada para lelaki
dan tempias sore di batang-batang ilalang
menegurmu buat kembali
bukankah kita sama-sama mencari
rasa kangen itu
adalah lubuk pakam warna duri
menegurmu untuk rindu pada sekeping hati
ketika engkau lelah dalam mencari
dan banyak batin penat yang kapok kembali
Rasa kangen itu,
adalah puisi-puisi kalbu
bagi setiap hati yang teduh
rasa kangen itu...
adalah kamu
Tg. Duren, 2 June 1992
Requeim Kangen
menghitung tajam durinya taklah gampang
kamukah yang membangunkan lelap daun-daun
diam-diam ketika subuh terjaga
kamukah yang menangis diam-diam
ketika hari tak lagi menyapa dengan salam belia
kamulah yang menidurkan kangenku
ketika aku tersesat dalam beku rindu
Jakarta, 11 May 1992
Malam Gerimis Path Pong, Bangkok
Lirih dalam gerimis jelang malam hari
Dari batang obo hitam yang lusuh dan pedih
Di trotoar Path Pong hujan senja jadi beku padat besi
lelaki buta meniup Vivaldi
dari obo nya bermunculan para penari
paha-paha ubi ketela kampung
di gerimis nya aku mengapung
lelaki buta meniup Vivaldi
obo hitam , kaca mata hitam, troatoar hitam
wanita muda buah dada kelapa
Di trotoar gerimis Path Pong menyala
District Path Pong -Bangkok, November 2004
Beranda Rumah Narti, Lengkong Banjar Negara
Desalah yang mengajarkan kita
cinta pada pematang, daun pepaya
pancuran dan warna batang bambu
rumpun bambu itu setua Banjarnegara
batu koral melamun di halaman rumah desa
pohon pisang, daun ketela, pucuk randu ,daun asam jawa
satu pagi, di selatan Lengkong pulau Jawa
aku termanggu di desa-desa paling jauh
kepurbaan itu melilit dingin di tanah hitam jelagah
dan kutulis puisiku di batu dan koral sungai purba
di selatan tanah tua Banjarnegara
aku mendengar megatruh senja di daun-daun bambu
melagukan kerentahan bumi desa lengkong
juga lagu dolanan kanak-kanak tentang bulan
aku memandang sebuah masa dari satu sisi tanah jawa
kangenku pada kampung tiba-tiba menyergap juga
rumpun bambu itu memang setua Banjarnegara
hari-hari panjang tak juah beranjak dari sini
ia memaku diri di batu pancuran kali
selamat datang masa lalu
Lengkong BanjarNegara 1990