Monday 6 August 2007

Engkaulah Pagi

engkaulah pagi
yang menembangkan kristal sunyi
keheningan rangkai melodi
simfoni tanpa bunyi
rahim subur para peri
di sanalah lahir berjuta puisi

harmoni, oktober 1989

Engkaulah Gerimis


aku mencari bening embun di daun-daun
hutan jati tidur dalam cuaca
sunyi rebah ke dahan trembesi
kamulah gerimis di beranda pagi

harmoni, oktober 1989

Engkaulah Mentari

burung segala musim
menerbangkan kata dari tenggara
cuaca terang padang-padang lapang
adalah kehangatan dasar kalbu
telah pupus kini beku rindu
kamulah mentari itu

harmoni, oktober 1989

Engkaulah Angin


kau simpan puisi di dahan basah
daun-daun rebah tanpa suara
mainkan harpa musim dan cuaca
biarkan warna hati sebening air kali
karena engkau adalah angin
bunga ilalang dan perdu
kangen padamu sepanjang waktu

harmoni, Oktober 1989

Engkaulah Hujan


* -catatan puisi-puisi masa belia,
betapa jengah membacanya lagi
sebuah kecengengan yang renyah ..*

kamulah teduh pagi dasar hati
warna langit sembunyi dalam puisi
beribu kasih tumbuh di batin biru
gerimismu memainkan lagu kembara
kasih putihmu
hujan pagi padang hatiku

harmoni, oktober 1989

Friday 3 August 2007

Aku Mencatat Sekeping Lupa di Jalan Braga


-( buat sobatku Vivie,
kecintaannya pada puisi dan rima di bangku sma
telah menghantarkannya ke tanah Pasundan raya
di UnPad Anrichasa jadi mahasiswa,
hingga kini tak juga kami berjumpa )

aku mencatat kenangan lupa bagi seorang sahabat lama
di Bandung pada cuaca di ujung Jalan Braga
dua puluh tahun berlalu dan beribu hari pergi ke sudut catatan beku
Bandung, di manakah kau sembunyikan sobat karibku

dulu kami berlima,
ada Abba, Lara, Tara dan Anrichasa
menulis surat dengan kabar yang putus-putusnya
kutulis juga tentang penat kuliah di kampus Salihara
daun-daun ketapang di gang pejaten luruh juga satu dua
sambil dahar mie rebus di kost kamar tua, kucatat bakal puisi , rima dan sajak cinta

apa kau sudah baca Bumi Manusia ?
lalu aku tulis sinopsis tentang Minke, Annelies dan juga tentang suasana Batavia lama
sementara tergeletak Anak Semua Bangsa , belum kelar halamannya kubuka
kubeli di loakan pasar Senen lama, tujuh puluh dua ribu rupiah
bisik-bisik seperti beli daun ganja
takut pada mata-mata yang kadang lewat cari buku pura-pura

kutulis pula cerita tahun kedua di jakarta,
kucari GM di utan kayu, lalu minta tanda tangannya sore itu
kumisnya menua, bicaranya pelan seperti seorang resi habis bertapa
ini pertama aku berjumpa sejak baca Seks, Sastra dan Kita di kelas dua sma
gerimis rinai di pohon mangga, senja merayap di udara jakarta
lalu terlintas Lagu Hujan sajak GM taun enam tiga

di luar hujan memahat kaca jendela
di luar hujan membubuhkan warna senja
di luar hujan membisikkan talkin purba..

kusodorkan buku Cak Nur , lalu dia ambil pena , di teken nama , buat siapa dia bertanya
buat guruku Pak Kirman di Bangka
yang mengajarkanku ketajukkan pada rima dan bahasa
dunia sasta dan rangkaian indah kata-kata,
di paparnya Chairil, Amir Hamzah, STA dan juga Rendra

.. seorang guru bisa punya jejak yang panjang..." tulis GM di sebuah catatan
buat gurunya Fuad Hasan
dan kini GM tulis itu di buku Cak Nur
yang akan kukirim buat guruku, satu minggu sebelum bulan puasa berlalu

kini ramadhan kembali menjelang
tak satupun kabar datang dari Tempilang
atau tentang lada di ujung Pemali
betapa jauh kenangan lama kini merayap pergi

aku mencatat kenangan lupa
bagi seorang sahabat lama
di Bandung pada cuaca senja
di ujung Jalan Braga
dua puluh tahun berlalu
dan beribu hari pergi ke sudut catatan beku

masihkah Anrichasa menulis kabar renyah
buat para sobat lama di tanah Bangka

03 Agustus-12 September 2007

Aku Mencatat dari Jendela Bis Kota , Pulang Kuliah

Tanah Abang,
anak-anak jalanan bicara tentang keringat dan debu
lagu sumbang dari segala sudut
seperti nyanyian jernih yang tak pernah tiba pada tepi hari
melayang-layang di udara Jakarta dan tersangkut
tapi tiap masa punya warna sendiri
jangan kamu takut

Pasar Rumput Manggarai, serta seranade sungai
bisakah kita sembunyikan warna pucat hari-hari
pada daun-daun trembesi dan warna coklat pohon asam jawa
dari tepi sebuah lanskap tanah merdeka
kadang kita ragu pada udara di daun-daun
selalu coba sembunyikan warna kelam
pada langit yang selalu tak punya rumah

Gunung Sahari, kabut pagi yang telanjang
ada perempuan mandi di kali di depan Gang Kartini
warna puisi biasa tiap kali aku berangkat kuliah
karena kota ini tak lagi punya lagu teduh
pada buruh-buruh yang berlindung pada kering cuaca
lalu seorang pengamen berteriak di atas bis kota
" jangan bicara tentang kemelaratan ...
kamu tak punya suara...
kamu tak punya suara... "

Senayan, Gedung MPR
ribuan mahasiswa memancang panji-panji
buat kaum tanpa rumah, katanya
buat kaum dari tanah-tanah tandus dan rengkah
buat kaum dari ladang-ladang terhimpit

Dari jendela pikuk bising bis kota,
selepas penat kuliah dengan diktat-diktat tak pernah kubaca
kucatat peristiwa-peristiwa luruh dan lepas
aku ingin cepat pulang bergegas
lalu bisa lega bernapas

Sepanjang Jakarta, 24 November 1990